Wednesday, October 10, 2012

Peringatan Puputan Badung 2012















































Puputan Badung 1906

Latar belakang terjadinya Peristiwa Puputan Badung berawal dari masalah "Tawan Karang" yang selalu menjadi pangkal terjadinya perselisihan antara raja-raja di Bali dengan pihak Belanda yang sering terjadi di perairan pulau Bali sampai permulaan abad ke-20. Peristiwa meletusnya perlawanan rakyat Badung menentang kolonial Belanda berawal dari terdamparnya sebuah perahu Tionghoa dari Banjarmasin di pantai Sanur pada bulan Mei 1904. Semua isi perahu itu dirampas oleh penduduk pantai Sanur. Kejadian ini menimbulkan kemarahan pihak pemerintah Belanda serta menuntut kerugian kepada raja Badung yang menolak dengan keras permintaan kerugian itu, sehingga pemerintah Belanda menyerahkan segala urusannya kepada residen Bali dan Lombok F. A Liefrinck pada tahun 1905.

Belanda pada akhirnya memberikan ultimatum pada kerajaan Badung, pada 13 September 1906. Tetapi ultimatum Belanda pada tanggal 13 September 1906 ditolak dan pecahlah perang. Perang Puputan Badung tidak mungkin akan terjadi tanpa persetujuan keputusan bersama dan tanpa tekad dari ketiga Raja yaitu Raja Pemecutan, Raja Denpasar, Raja Kesiman.

Diceritakan perang Puputan Badung 20 September 1906, sejak fajar pagi menyingsing di kaki langit Pantai Sanur, desa-desa Kesiman, Denpasar, Pemecutan sudah dihujani peluru-peluru meriam Belanda, yang menghancurkan dan membakar semua yang dikenai. Desa-desa, Puri-puri membara dan menyala-nyala, kabut asap memenuhi udara, suara meriam meggelegar, bumi sepertinya mau kiamat.

Penyerangan Belanda sudah dimulai dengan menyerang Puri Kesiman pada tanggal 19 September 1906. Perlawanan rakyat Badung di Kesiman menunjukkan keberanian luar biasa dan Pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari prajurit-prajurit Bali hanya senjata keris dan tombak.

Puri Kesiman dapat diduduki dalam keadaan kosong karena Raja I Gusti Ngurah Gede Kesiman sudah meninggal tanggal 18 September 1906 karena terbunuh oleh seorang penghianat, yang tidak setuju dengan kebijaksanaan beliau berperang melawan Belanda.

Setelah mendengar Puri Kesiman telah diduduki, maka Raja Denpasar I Gusti Ngrah Made Agung bersabda kepada semua kerabat yang berkumpul, bahwa besok tanggal 20 September 1906 akan berperang habis-habisan melawan Belanda, dan beliau tidak memaksa kepada semua kerabat dan rakyat untuk turut serta. Akan tetapi semua yang mendengar dengan serentak menyatakan akan turut serta membela Raja dan mempertahankan kedaulatan kerajaan Badung.

Pada tanggal 20 September 1906, dari Kesiman Belanda mulai menyerang Puri Denpasar dari arah utara. Pasukan Badung langsung dibawah Pimpinan Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Agung, beserta pesemeton, tokoh-tokoh semua Puri-puri di Denpasar, Puri Belaluan, Puri Dangin, Puri Jero Kuta, Puri Anyar, Puri Jambe, Puri Oka, dan lain-lain, para pendeta dan rakyat, semua kerabat puri lainnya. Para Wanita dan anak-anak yang digendong, dengan bersenjata keris dan tombak mereka menyongsong musuh di daerah Taensiat.

Pertempuran sengit dan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Raja terus-menerus memberi komando dan membakar semangat pasukannya, mengamuk bagai singa kelaparan, namun akhirnya beliaupun tidak dapat menghindar dan wafat setelah terkena tembakan berkali-kali. Rakyat dan kerabat puri lainnya terus mengadakan perlawanan.

Belanda melakukan penembakan dengan membabi buta ke arah pasukan Badung, para wanita dan anak-anak yang hanya bersenjata keris dan tombak, menimbulkan korban yang sangat memilukan dan menyedihkan. Karena persenjataan yang tidak seimbang amat banyak yang gugur sebagai pahlawan perang.

Denpasar diduduki oleh Belanda pada pukul 11.30. Dengan wafatnya I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, belum berarti bahwa negara Badung sudah jatuh dan kalah menjadi kekuasaan Belanda.

Pertempuran yang sebenarnya barulah dimulai, dan perlawanan yang terjadi baru merupakan awal dari perang Puputan Badung. Kerajaan Badung masih tetap merdeka dan berdaulat di bawah kekuasaan Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan.

Pasukan Belanda pun menyadari dan mengakui keadaan ini, sehingga berpendapat bahwa untuk menguasai Kerajaan Badung mereka harus melanjutkan pertempuran menyerang Raja dan menduduki Puri Pemecutan.

Siang hari pada hari itu juga, penyerbuan tentara Belanda dilanjutkan ke Pemecutan. Setibanya di desa Suci ( 500 m dari Puri ), mereka bersiap- siap dan mulai menembakkan meriam dan Bedil dengan suara yang menggetarkan, dengan harapan, supaya pejuang-pejuang Pemecutan mau menyerah.

Namun sebaliknyan mereka makin timbul keberanian, bagaikan lembu keratin menyerbu dan menyerang pasukan Belanda. Dengan sorak dan jeritan histeris, bagaikan laron yang merubung api lampu, mereka gugur satu persatu sebagai pahlawan perang.

Setelah Raja Pemecutan mendengar bahwa Kesiman dan Denpasar kalah diduduki, serta pasukan Belanda sudah dekat di sebelah timur Puri, maka dia pun menyerukan untuk melakukan puputan.

Semua yang mendengar seruan itu Bangkit serentak, dengan kemauan sendiri, hendak ikut ngiring ( turut serta ) berdasarkan kesucian hati, berpuputan bersama.

Seluruh keluarga Puri keluar ke medan pertempuran, termasuk para wanita dan anak-anak, serta bayi-bayi juga digendong oleh para ibu, pengasuhnya, sedangkan Raja yang sudah tua dan sakit-sakitan, ditandu saat memimpin peperangan.

Seluruhan Laskar Pemecutan dipimpin oleh empat putra perkasa dari puri kanginan Pemecutan bersama Raja I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Putu berjuang bagaikan sedang mabuk, menyerang ke sana kemari, menantang musuh, menyeberangi kali Badung, menuju daerah Suci sebelah timur Pemecutan. Beliau juga sempat memerintahkan I Meruh Dari Desa Campuan Peguyangan dan I Pateh dari Banjar Busungyeh, untuk membakar ( bumi hangus ) Puri, apabila beliau-beliau Raja sudah meninggal, sehingga tidak dapat diduduki dan ditempati oleh serdadu Belanda.

Diperintahkan juga kepada rakyatnya yang lain, agar membunuh ( ngeludin ) mereka yang mengerang kesakitan, jika terkena peluru Belanda, agar dia dapat meninggal dengan tenang.

Demikianlah Ngurah Made dengan membabi buta, menyerang pasukan Belanda, hanya dengan sebilah keris, dengan keberanian luar biasa dan akhirnya gugur oleh berondongan senjata api musuh.

Diceritakan pula Ngurah Made yang bagaikan singa kelaparan, berlari dan menerkam serta menghujamkan keris ke dada musuh, bergulat dan di keroyok serta ditembaki oleh tentara Belanda. Tak terhitung rakyat yang telah gugur, demikian pula di pihak Belanda.

I Gusti Ngurah Ketut Bima, menghadang dan menyongsong musuh, dengan menyisir tembok rumah-rumah penduduk, di sebelah utara jalan, ke arah timur, menyeberangi sungai Badung dan kemudian siap di atas tembok rumah I Gambang ( di sebelah utara Pura Suci ), menanti pasukan berkuda dari perwira-perwira Belanda yang melintas.

Begitu mendekat, dengan sigap Ngurah Bima meloncati tembok, melompati kuda, sambil langsung mencekik dan menikam musuh di atas kuda, namun beliau tertembak oleh pasukan musuh yang lain, sehingga gugur bersama Letnan Pieters yang dibunuhnya. Beberapa perwira Belanda juga sempat di bunuh pada waktu itu.

Sementara itu, Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, meskipun sudah tua dan sakit, dengan semangat penuh memberi komanda kepada rakyat pengiringnya. Dengan sorak sorai, jeritan histeris, mereka maju tak gentar, menantang musuh dengan hanya bersenjata keris dan tombak, dengan semangat dan keberanian luar biasa.

Kaum wanita, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak serta bayi-bayipun turut digendong oleh para ibu, ataupun pengasuhnya, turut ke medan peperangan mengikuti Raja berpuputan. Seluruh kerabat Puri, para istri-istri Raja anak-anak maupun bayi dibawa serta.

Demikian mereka berduyun-duyun sambil bersorak menyongsong musuh, bagaikan lebah merubung nyala lampu, kemudian terbakar satu-persatu.

Demikianlah mereka gugur berserakan ditembus peluru Belanda. Rajapun tidak dapat menghindar, tertembak jatuh, setelah pengusung tandunya meninggal terkena peluru.

Raja dengan tenaga yang tersisa, sambil tertatih-tatih masih sempat mengadakan perlawanan dan akhirnya terjatuh dan wafat.

Setelah wafatnya Raja, para pengiringnya semakin berani menantang musuh, agar dibunuh oleh Belanda, atau mereka saling menikam diri sendiri, atau orang-orang di dekatnya, sanak saudara, anak-anak atau istri, agar tidak ada seorangpun yang tertinggal dijadikan tahanan budak Belanda, mereka semuanya ikut 'ngiring' (ikut) berpuputan.

Jeritan mereka yang kesakitan kena peluru, minta tolong supaya dibunuh, sangat memilukan hati Anak Agung Ayu Oka juga turut serta ke medan pertempuran, mengikuti ayahanda, dan seluruhnya keluarga Puri beserta kekasihnya I Gusti Nguah Ketut Bima yang memimpin Laskar Pemecutan.

Demikian sengit dan hebatnya pertempuran di daerah Suci dan Pemecutan, suara meriam tiada hentinya. Puri terbakar peluru, dengan api yang berkobar-kobar dan asap memenuhi angkasa. Suara kentongan “ Kerik Tingkih “(kentongan puri masih ada di jalan Thamrin Denpasar ) bulus bertalu-talu,tiada henti-hentinya disertai suara dan gonggongan anjing yang meraung-raung sepanjang hari, benar-benar sangat mengerikan.

Dalam kondisi seperti ini, Anak Angung Ayu Oka menyadari, bahwa Ayahandanya telah gugur, kekasih beliau Raja Denpasar sudah pulang mendahului, kini Ngurah Bima pun sebagai Pahlawan perang. Semua kerabat puri sudah meninggal, tidak adalagi yang ditunggu, kemudian dengan perasaan pilu dan sedih, menagis, pasrah lascarya, menyusul beliau-beliau itu dengan 'mesatnya' bunuh diri dengan sebilah keris, sebagai Bakti kepada ayahanda,hormat kepada Raja, setia kepada kedua kekasih yang dicinta, setia kepada Negara dan rakyat, pantang menyerah kepada Belanda.

Putri Puri pemecutan gugur di atas tumpukan jenazah Ayahanda dan rakyat lainya.

Sumber bahan teks: http://indonesiaindonesia.com